Oleh: Boy Raja Pangihutan Marpaung. 

Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para EZLN (kelompok pembebasan di Meksiko). Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos (Pemimpin EZLN), senjata utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.

Buku berjudul Our Word Is Our Weapon yang dituliskan Marcos sangat menginspirasi para pengikutnya. Mereka menganggap salah satunya alat yang sangat membahayakan karena tajam nya kata itu.. Kata- kata yang dikeluaarkan dari mulut itu semua memiliki makna dan setiap kalimat yang dilontarkan memiliki maksud.

Ketajaman kata yang dimaksudkan dalam hal ini tentu memiliki arti yang mendalam. Memiliki sebuah makna yang sangat luar biasa dan memiliki maksud untuk mendapatkan sasaran dari kata yang dilontarkan. Begitu juga dengan kalimat, tidak lagi sebuah gabungan kata yang dirangkai menjadi indah bunyinya, melainkan beberapa kata-kata yang memiliki makna dan di gabunngkan menjadi memiliki maksud tertentu untuk tujuan tertentu berdasarkan kebenaran.

Hal ini tentu mengingat kan kita yang sering menggunakan kata dan kalimat untuk menggambarkan suatu atau menyampaikan bahkan mengkritik sesuatu. Bagaimana sebuah kata dan kalimat yang kita keluarkan merupakan kekuatan yang kita miliki dalam hal yang menujukan suatu penyampaian yang kita perjuangkan. Itulah yang dimaksudkan dengan writing is power.

Kata dan kalimat yang kita gunakan untuk menuliskan sesuatu, harus memiliki sebuah makna dan tujuan yang memang didasari dari hal sebuah realitas. Sebab realitas dalam sebuah tulisan itu merupakan sebuah kekuatan. Kekuatan untuk mengkritik, menyampaikan, dan penggambaran. Hal ini akan mendorong bagaimana maksud dari tulisan itu mengarah kemana.

Hal ini juga menggambarkan kita sebagai penulis, seberapa pahamnya kita tentang apa yang telah kita tulis. Banyaknya kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan dasar dari menulis, sehingga harus banyak pula yang kita ketahui tentang apa yang kita tulis melalui realitas sosial yang kita hadapi dan tidak lupa dengan membaca.

Belajar dari Pendahulu

Sangat banyak para pejuang terdahulu yang menggunakan tulisan sebagai kekuatan untuk merealisasikan dan mengkampanyekan sesuatu yang diperjuangkan mereka. Mereka merealisasikannya melalui tulisan-tulisan, baik berbentuk pucukan surat, puisi, novel dan bahkan menuliskan buku, seperti Marcos.

Soekarno, proklamator Indonesia yang menulis di media-media cetak untuk melawan penjajahan Belanda, tulisan-tulisannya sekarang menjadi buku “Dibawah Bendera Revolusi”. Ia mengatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sebab barang siapa yang melupakan sejarah bangsanya, maka akan lupa pula untuk memajukan negaranya.

Pramoedy Ananta Taoer, seorang sastrawan yang telah menulis lebih dari 50 buku, dalam buku-bukunya. Dia melontarkan kritik -kritik politik dalam tulisannya, dia juga memperjuangkan humanisme dalam budaya-budaya feodal yang masih di terapkan di Jawa, serta kampanye kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia.Setiap tulisannya memiliki sejarah realitas yang dihadapinya sendiri. Pram mengatakan “Menulislah maka engkau akan tahu sejarah mu”.

Voltaire, merupakan seorang pengarang, sejarawan, pengacara dan filsuf ternama Perancis, ia terkenal karena telah menulis lebih dari 20 ribu surat dan 2 ribu buku dan pamfle. Dia pejuang Humanisme pra meledaknya revolusi Prancis melalui gagasan-gagasan dalam tulisannya. Dia berkata “Ok, ok, teman saya yang baik, sekarang bukan waktunya untuk membuat musuh”

Ernesto Guavara, seorang Revolusioner dari Argentina yang melakukan pembebasan rakyat Cuba. Dia selalu menuliskan di buku hariannya yang saat ini sangat terkenal dan menulis surat-surat pada kaum muda. Dia berkata kepada tema gerilyanya “Tidakkah kau membaca, paling tidak menulis diary mu, kalau kau tidak melakukannya, lebih baik kau berada di rumah mu”

Inilah para pendahulu ternyata berjuang berdasarkan inteligensia mereka, dari praktek hingga gagasan-gagasan yang mereka keluarkan berdasarkan realitas yang mereka rasakan dengan nyata dituangkan juga ke dalam bentuk tulisan, dan memiliki sasaran serta target tertentu. Mereka membuktikan juga bahwasanya tuslisan-tulisan yang mereka ciptakan memiliki nilai-nilai yang menjadi kekuatan dalam perjuangan mereka.

Jadi sudah waktunya kita menulis dengan hal yang berangkat dari realitas agar menciptakan realitas baru, dan tulisan kita itu memiliki kekuatan, dan bukan lagi retorika belaka, antara praktek dan gagasan yang kita keluarkan seimbang. Antara ide dan perjuangan memiliki sasaran dan target yang jelas serta memiliki maksud yang jelas dalam tulisan akan menjadi kekuatan untuk menciptakan apa yang kita inginkan dari tulisan itu.***

* Penulis aktif dalam gerakan sosial dan Ka.Divisi Investigasi & Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)

Please follow and like us:
fb-share-icon
Tweet 20

Tags:

Categories:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RSS
Follow by Email